Rachmad
A. Pua Geno (Gugus Opini Kesehatan Masyarakat, Edisi 1)
Sudah lewat beberapa
bulan, Gus Dur meninggalkan tanah air yang dicintai untuk selamanya, namun perbincangan
tentang pemikiran dan ucapan beliau terus berlanjut. Salah satunya yang cukup
jarang dibicarakan adalah saat menjabat Presiden RI, “Kalau mau menuruti kata hati,
Departemen Kesehatan (Depkes) akan saya hapus”. Pernyataan itu muncul, seiring
dihapuskannya Departemen Penerangan yang dulunya jadi alat propaganda penguasa dan
tindakan pembredelan pers saat jaman orde baru.
Pernyataan
membubarkan Depkes kini berubah istilah menjadi Kementerian Kesehatan, sangat mengejutkan
karena tidak satupun pernyataan sebelumnya yang berpikiran untuk membubarkan
Depkes. Namun bila kita kaji lebih mendalam, pernyataan Gus Dur tersebut ada benarnya.
Selama ini, khususnya pada era orde baru, peran Depkes, alih-alih mengurusi
masalah orang sehat, tapi justru asyik sebagai Departemen Kesakitan, bahkan ada
yang lebih ekstrim lagi sebagai Departemen Kantong Mayat..
Potret Bopeng Depkes
Meski saat
pemerintahan Habibie, tepatnya 15 September 1998, Depkes RI telah
memperkenalkan paradigma baru dalam pembangunan kesehatan yaitu Paradigma Sehat
untuk menggantikan paradigma sakit yang selama ini diterapkan. Paradigma sakit
mempunyai cara pandang dalam upaya kesehatan yang mengutamakan upaya kuratif
dan rehabilitatif. Hal ini menjadikan kesehatan sebagai suatu yang konsumtif.
Sehingga menempatkan sektor kesehatan dalam arus pinggir (side stream) pembangunan (Does Sampoerna, 1998).
Dengan paradigma
sehat, pemerintah berupaya mereorientasi pembangunan kesehatan. Penanganan kesehatan
penduduk lebih dititikberatkan pada pembinaan kesehatan bangsa (shaping the
health nations) bukan sekedar penyembuhan penyakit, namun termasuk pencegahan
penyakit, perlindungan keselamatan, dan promosi kesehatan.
Namun, upaya ini
hanya sebatas wacana. Paradigma sakit masih menjadi panglima bagi Depkes,
akibatnya kesehatan dipandang sebagai sektor konsumtif, tidak sebagai
investasi. Anggaran untuk sektor kesehatan hanya sekitar 2-3% dari total
belanja negara. Kesehatan hanya dilihat sebagai sektor kesejahteraan yang
dinilai menjadi beban biaya. Keberadaan Depkes masuk dalam koordinasi bidang
kesejahteraan rakyat (Kesra). Karena itulah, keberadaan Depkes hanya dibutuhkan
pada saat
pembicaraan tentang wabah, bencana, dan segala
hal yang terkait dengan ‘pengobatan dan pemulihan’. Dari sinilah sebutan
“Departemen Kantong Mayat” mulai mengemuka. Tidak pernah terdengar, Depkes
bicara tentang human capital dan program investasi.
Banyaknya kasus
Kejadian Luar Biasa (KLB), seperti Demam Berdarah, Malaria, Antraks, Flu Burung
dll, menunjukkan ketidaksiapan dan sikap reaktif Depkes dalam mengantisipasi
persoalan kesehatan masyarakat.
Reformasi Depkes
Ungkapan Gus Dur
tentang Depkes tersebut begitu genuine, Gus Dur bersikap bahwa masalah
kesehatan mestinya dikembalikan pada masyarakat (masyarakat sebagai subyek).
Kini, selang sekitar sepuluh tahun pernyataan Gus Dur tersebut, banyak pemikir
kesehatan mendorong agar Depkes segera berbenah.
Setidaknya bisa
berawal dari sebuah kajian tentang redefinisi sehat dan kontribusi Depkes
terhadap pembangunan kesehatan serta kaitannya dengan perubahan kebijakan yang
ada.
Dari pokok pikiran,
redefinisi sehat dan pembangunan kesehatan. Sudah ada pengakuan nyata
bahwa sehat sebagai investasi untuk pembangunan
nasional. Karena itu, tugas bidang kesehatan adalah menyehatkan rakyat dan
menyembuhkan sebagian yang sakit agar kembali sehat. Semua itu memerlukan
kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk bersikap bahwa fokus perubahan ke arah promotif/preventif.
Sementara lingkup
sehat tidak hanya monopoli dari urusan Depkes. Perlu ada kesadaran nyata bahwa
sehat adalah urusan banyak sektor. Setiap sektor mempunyai dampak terhadap
“sehat”. Data riset kesehatan dasar tentang proporsi sebab kematian umur 15-44
untuk jenis kelamin laki-laki menempatkan kecelakaan lalu lintas pada urutan
pertama. Sementara, perilaku yang menuntun berlalu
lintas yang sehat, perlu keterlibatan aktif
berbagai pihak, mulai kepolisian, kementerian perhubungan, dan pemerintahan
lokal setempat.
Persoalan tetap
tingginya angka kematian ibu dan bayi melahirkan di Indonesia (masih tertinggi
di ASEAN), menjadi bukti nyata lain bahwa persoalan kesehatan menjadi bagian
pekerjaan dari semua komponen pemerintah.
Belum lagi bila kita
membicarakan tentang isu global warming, modernisasi kehidupan, dan beban
ganda. Semakin membuat bidang kesehatan (Depkes) harus merubah diri. Dunia kini
semakin datar, Depkes harus lebih proaktif dan adaptif terhadap segala
perubahan. Organisasi kesehatan harusnya menjadi “social engineering” (Purnawan
Junaidi, 2009).
Sementara dari aspek
kebijakan dan peraturan. Dalam UU Otoda, jelas disebutkan bahwa kewenangan urusan
kesehatan ada sepenuhnya di Kabupaten/Kota. Dalam PP 38/2007, pasal 18 jelas
disebutkan tugas Depkes adalah membina, membimbing, supervisi, konsultasi, memonitoring
dan evaluasi, pendidikan dan pelatihan dan kegiatan pemberdayaan lain. Sementara
UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dengan lantang menyebut bahwa kesehatan
adalah hak dan kewajiban rakyat.
Kini saatnya, Depkes
perlu bersikap lebih jelas apakah melakukan fungsi pembinaan (steering)
daripada fungsi pelaksana (rowing). Sebagaimana David Osborne berucap dalam
bukunya Reinventing Government, pemerintah yang melakukan fungsi steering
sekaligus rowing adalah bukan pemerintahan yang baik.
Kini banyak pihak
menunggu, bagaimana bentuk reformasi kesehatan yang ditunjukkan oleh Depkes. Bila
tidak ada hasil, maka pernyataan Gus Dur diawal tulisan ini layak untuk
dipertimbangkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar