Rachmad A. Pua Geno (Gugus Opini Kesehatan
Masyarakat Edisi 1)
Menyoal tentang rokok selalu
menimbulkan berbagai kontroversi, ekonomi via a vis kesehatan. Industri rokok identik
dengan penghasil devisa yang menggiurkan, ditambah lagi mampu menyerap jutaan
tenaga kerja. Namun disisi lain, rokok dihujat karena merupakan penyebab berbagai
penyakit yang mematikan. Untuk menjembatani kontradiksi tersebut, pemerintah
telah mengeluarkan peraturan pemerintah tentang pengamanan rokok bagi
kesehatan. Ternyata, regulasi pengamanan rokok bagi kesehatan telah mengalami 3
kali perubahan dalam kurun waktu 3 kali periode kepresidenan (Habibie, Gus Dur
dan Megawati). Tentu saja, perubahan yang relatif singkat tersebut menarik
dicermati dan dikaji, bagaimana kuatnya ‘pertarungan’ kepentingan ekonomi dan
kesehatan.
Era Habibie
PP Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan (PP 81/99) diawali pada era presiden Habibie, menjelang berakhirnya masa
pemerintahan Habibie, tepatnya 5 Oktober 1999. Namun demikian, proses
perumusannya sudah dilakukan jauh sebelumnya. Di era Habibie, masalah kesehatan
menjadi salah satu prioritas penting yang tercermin dikeluarkannya prasasti
Indonesia Sehat 2010 pada tanggal 1 Maret 1999. Bisa dikatakan, munculnya PP
81/99 merupakan konsekwensi logis dari cita-cita Indonesia Sehat 2010.
Awalnya, substansi dari PP 81/99
komprehensif dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan kesehatan, karena memang
tujuan diberlakukannya adalah melindungi kesehatan dari bahaya merokok;
membudidayakan hidup sehat dikalangan masyarakat; menekan perokok pemula; serta
melindungi perokok pasif.
Komprehensif karena mancakup
banyak hal, antara lain; penetapan kadar tar dan nikotin pada setiap batang rokok
yang tidak boleh melebihi 1,5 mg nikotin dan 20 mg tar; persyaratan promosi dan
iklan rokok yang hanya dapat dilakukan di media cetak dan media luar ruangan; pengaturan
tentang batas waktu berapa tahun penyesuaian persyaratan batas maksimal tar dan
nikotin bagi produsen rokok kretek buatan mesin dan produsen rokok kretek buatan
tangan.
Meski cukup komprehensif, belum
sempat diberlakukan secara efektif, PP ini sudah ditentang habishabisan oleh
kalangan industriawan rokok. Bahkan mereka mengancam siap ‘perang’ dengan Depkes
yang menjadi pengusul PP ini. Mereka menolak PP tersebut dengan alasan bahwa PP
ini adalah hasil KKN dan menuding ada intervensi pihak asing mendalangi PP ini.
Mereka juga menilai PP ini
banyak ruginya daripada untungnya, yaitu akan
terjadi PHK besar-besaran pada industri rokok serta akan menghancurkan petani
tembakau, dan ujungnya mengurangi pendapatan negara.
Substansi PP yang mereka tolak
antara lain; penerapan batas maksimal tar dan nikotin, bagi kalangan industri
rokok kretek sudah terbiasa dengan kadar tarnik yang tinggi. Bahkan disebut
bahwa kadar tarnik yang tinggi adalah ciri khas rokok kretek Indonesia yang
tidak dimiliki bangsa lain yang patut di lindungi. Mereka juga tidak setuju
jika iklan rokok di media elektronik dilarang karena mengurangi daya promosi
rokok ke masyarakat.
Era Gus Dur
Akhirnya,
protes kalangan industriawan rokok disetujui, ditandai dengan keluarnya PP
38/2000 tentang Perubahan atas PP 81/99 pada tanggal 7 Juni 2000, diera presiden
Gus Dur. Revisi yang termuat dalam PP 38/00 bahwa promosi dan iklan rokok dapat
dilakukan di media elektronik dengan pengaturan masa tayang mulai pukul 21.30 –
05.00 waktu setempat. Selanjutnya, masa penyesuaian pengaturan tentang batas
waktu penyesuaian persyaratan batas maksimal tar dan nikotin lebih diperpanjang,
bagi produsen rokok kretek buatan mesin menjadi 7 tahun dan produsen rokok
kretek buatan tangan 10 tahun.
Dalam PP 38/00 ini pula,
disepakati untuk membentuk Lembaga Pengkajian Rokok yang bertugas untuk mengkaji
berbagai permasalahan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan PP tersebut.
Meski sudah ada perubahan atas PP
81/99 menjadi PP 38/00 yang terkesan lebih ‘mengalah’ kepada kaum industriawan,
namun belum memuaskan bagi kalangan tersebut. Mereka masih mengganggap aturan
dalam PP 38/00 masih banyak yang mengatur hal teknis industri rokok kretek.
Mereka terus berupaya melobi pihak yang dianggap dapat membatalkan PP ini,
antara lain Departemen Perindustrian, Depnaker, DepTan, Depkeu bahkan DPR.
Era Megawati
Puncaknya di era Presiden Megawati,
dengan dalih untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan pengamanan rokok bagi
kesehatan dipandang perlu adanya penyempurnaan peraturan mengenai pengamanan
rokok bagi kesehatan dengan PP baru (dalam konsideran menimbang). Maka muncullah
PP 19 tahun 2003 pada tanggal 10 Maret 2003. Ironisnya bukan malah
menyempurnakan, dalam PP 19/03 tersebut beberapa aturan yang justru prinsip
langsung dipangkas. Antara lain, penetapan kadar tar dan nikotin pada setiap
batang rokok yang tidak boleh melebihi 1,5 mg nikotin dan 20 mg tar hilang dari
peredaran. Dalam PP19/03 hanya disebut bahwa produsen rokok wajib memberikan
informasi kandungan tar dan nikotin setiap batang rokok yang diproduksinya.
Artinya, meski kandungan batas tar dan nikotin melebihi batas toleransi, tidaklah
melanggar aturan.
Selanjutnya, sebagai konsekwensi
dari perubahan tersebut, aturan tentang masa penyesuaian aturan tentang batas
tar dan nikotin sampai dengan batas maksimal otomatis dihilangkan. Dengan
demikian, industri rokok kretek bebas memproduksi rokok dengan kandungan tar
dan nikotin tinggi tanpa harus khawatir harus memenuhi aturan batas maksimal
tarnik. Selain itu, Lembaga Pengkajian Rokok semula direncanakan dibentuk,
akhirnya tidak jadi dibentuk. Sangat jelas bahwa presiden Megawati ingin bermain
‘safe’ alias membuat permasalahan ini menjadi ‘menggantung’ dengan tidak
menyentuh ranah-ranah yang lebih bersifat teknis namun prinsip.
Mencermati pasang surut regulasi
rokok, mulai dari era Habibie hingga Megawati sangat jelas terlihat bahwa regulasi
pengamanan rokok bagi kesehatan di Indoensia terus mengalami degradasi.
Artinya, pemerintah mengambil keputusan bahwa kepentingan ekonomi lebih menjadi
prioritas daripada kepentingan kesehatan masyarakat. Pemerintah melihat
penerimaan negara dari cukai sampai dengan akhir 2004 mencapai Rp 29,25
triliun, yang melebihi target APBN-P 2004 sebesar Rp 28,441 triliun jauh lebih penting
daripada sekitar 57 ribu jiwa per tahun yang mati sia-sia akibat tembakau.
Era SBY
Bagaimana dengan era presiden
SBY? PP Pengamanan rokok bagi kesehatan belum menunjukkan ‘taringnya’, Fakta
yang ada ; berbagai kegiatan olahraga rakyat saat ini (Bola Voly dan Sepak
bola), sponsor utamanya adalah rokok. Perdagangan rokok bebas dijual ke lapisan
masyarakat, tanpa batasan umur. Hingga kini, pemerintah belum mau
menandatangani ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
Pengawasan Tembakau (Framework
Convention Tobacco Control/FCTC). Banyak
pihak berharap agar pemerintahan SBY merevisi PP pengamanan rokok bagi kesehatan
agar kembali pada jalur aslinya. Artinya, harus ada upaya konkret dan terjadwal
agar kepentingan aspek kesehatan masyarakat menjadi prioritas utama dalam
merumuskan PP ini.
Beberapa yang diusulkan adalah;
Pertama; harus ada program konkret dari kementerian pertanian untuk mendorong
dilaksanakan diversifikasi tanaman tembakau ke tanaman lain. Kedua; Begitu pula
bagi kementerian perindustrian ada program konkret tentang diversifikasi usaha
industri rokok ke industri lain. Bila kedua hal tersebut hanya sekedar
diucap/ditulis tanpa dirumuskan secara nyata dalam bentuk program terukur itu
sama saja bohong besar. Ketiga; Kewajiban kepada setiap pemerintah daerah untuk
mewujudkan kawasan bebas rokok harus lebih mengikat, dengan dikeluarkannya
Instruksi Presiden. Saat ini, baru Prop. DKI Jakarta yang menerapkan kebijakan
tentang pembatasan merokok. Keempat; Segera menandatangani dan meratifikasi
Kerangka Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) tentang Pengawasan Tembakau
(Framework
Convention Tobacco Control/FCTC) serta menjadikan hasil FCTC sebagai dasar
merevisi PP tersebut.
Selain itu, selama menunggu
proses diatas, segera digagas adanya dana reboisasi akibat rokok yang diambil
dari cukai rokok sebagaimana dana reboisasi hutan. Dana reboisasi rokok tersebut
khusus dialokasikan kepada bidang kesehatan. Logikanya rokok telah
mengakibatkan kesehatan penduduk terganggu karena itu cukai rokok perlu dialokasikan
untuk menyelesaikan masalah kesehatan akibat rokok. Tentu saja ini adalah
solusi ‘damai’ sembari menunggu program diversifikasi rokok ke produk yang
lebih manfaat. Selain itu, untuk menambah alokasi kesehatan yang selama ini
masih kurang. Apakah SBY mampu melakukannya ?